Tommy Winata (lahir dengan nama Oe Suat Hong di Pontianak, Kalimantan Barat,, 23 Juli 1958; umur 51 tahun), atau sering dikenal dengan inisial TW, adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang merupakan pemilik Grup Artha Graha. Usahanya terutama bergerak dalam bidang perbankan, tekstil dan konstruksi. Ia seringkali didesas desuskan mempunyai kaitan dengan bisnis hitam dan ilegal.
Grup Artha Graha miliknya didirikan dengan dukungan dari TNI (dahulu ABRI), melalui beberapa kawan dekatnya seperti Eddy Sudradjat (dahulu KSAD, sekarang Ketua Umum partai PKPI).Ia termasuk "taipan" yang ditakuti karena di belakangnya konon berdiri tokoh-tokoh militer. Suginato Kusuma atau lebih dikenal sebagai Aguan juga adalah mitra Tomy dalam Grup Artha Graha.
Melalui Bank Artha Graha, Tomy menyelesaikan proyek Kawasan Bisnis Dan Properti Kelas atas seperti, Sudirman Central Business District (SCBD) , termasuk gedung bursa efek Jakarta. Selain itu Tomy mempunyai andil dalam pembangungan Bukit Golf Mediterania, Kelapa Gading Square, The City Resorts, Mangga Dua Square, Pacific Place, Discovery Mall Bali, Borobudur Hotel, The Capital Residence, Apartemen Kusuma Candra, Ancol Mansion, The Mansion at Kemang, Mall Artha Gading, Senayan Golf Residence.
Taipan muda ini konon menyuruh karyawannya merusak gedung majalah dan koran Tempo karena dituduh membakar pasar Tanah Abang pada awal 2003. Lalu ia memenangkan proses di pengadilan dan mendapatkan uang sebesar Rp. 500 juta.
Menangnya Tommy Winata dalam sidang ini, membuat para wartawan di Indonesia menjadi ketakutan dalam meliput berita.
Sekarang ini Tomy sedang merintis perkembangan bibit unggul padi yang diharapkan dapat meningkatkan produksi padi nasional Indonesia. Melalui PT Sumber Alam Sutera, Tomy bekerja sama dengan Guo Hao Seed Industries Co. Ltd. dari China untuk bersama2 mengembangkan bibit hybrid yang dapat meningkatkan produksi padi menjadi 5-8 ton/hektar.
Reputasi TW di dunia bisnis
Namanya terlanjur diidentikkan dengan perjudian. Tomy Winata alias Oe Suat Hong dikabarkan termasuk satu di antara sembilan anggota mafia judi bersandi "Sembilan Naga". Pria keturunan Taiwan ini disebut-sebut punya bisnis judi di Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Makao. Walau demikian, sampai sekarang belum ada bukti hukum yang menegaskan bahwa ia adalah raja judi. “Sejak dulu dan sampai hari ini, tidak ada bisnis saya yang bergerak di bidang perjudian,” katanya kepada Forum, November 2001. Kepada majalah itu, ia mengaku tak tahu apa yang dimaksud dengan “Sembilan Naga”. Ia lalu menegaskan, “Semua usaha saya legal dan resmi.”
Orang-orang di sekitarnya malah menyebutnya sebagai "orang baik" dan suka menolong kaum miskin. Sikapnya ramah dan terbuka. Bicaranya lugas, humornya tinggi. Penampilannya jauh dari kesan perlente. Jarang memakai jas dan dasi, laiknya konglomerat. Ayah lima anak ini lebih suka memakai setelan safari lengan pendek berwarna gelap.
Apa pun, sebagai penguasaha Tomy punya kisah sukses. Ia ulet dan tekun, merangkak dari bawah. TW—demikian ia biasa dipanggil—memulai usaha sejak remaja. Anak miskin yatim piatu ini bernasib mujur. Kala itu, 1972, pada usia baru 15 tahun, si “anak ajaib” diperkenalkan oleh seorang seniornya kepada sebuah instansi militer di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkenalan itu membuahkan order: membangun kantor koramil di Singkawang.
Dari sini hubungannya dengan militer terus berlangsung, terutama dengan perwira menengah dan tinggi.Salah seorang di antaranya Jenderal T.B. Silalahi, mantan Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan VI di masa Presiden Soeharto. Berkat Silalahi, ia mereguk order proyek: mulai dari membangun barak, sekolah tentara, menyalurkan barang-barang ke markas tentara di Irian Jaya dan di tempat-tempat lain seperti Ujungpandang dan Ambon.
Dalam waktu sepuluh tahun, Tomy berhasil mengembangkan imperium bisnisnya. Pada 1989, ia mendirikan PT Danayasa Arthatama. Lewat perusahaan ini, ia mengenal Yayasan Kartika Eka Paksi, milik Angkatan Darat. Berkongsi dengan yayasan itu, Tomy membangun proyek raksasa Sudirman Central Business District (SCBD) yang menelan investasi US$ 3,25 miliar, rampung seluruhnya pada Tahun 2007.
Rambahan bisnis Tomy meliputi perdagangan, konstruksi, properti, perhotelan, perbankan, transportasi, telekomunikasi sampai realestat. Di bawah payung PT Danayasa Arthatama, imperiumnya menjadi jaring bisnis yang terdiri atas 16 perusahaan. Pada 1997 saja, aset totalnya, menurut perkiraan Data Consult Inc., mencapai Rp 3,5 triliun. Pemilik sejumlah kapal pesiar ini juga ikut mengelola usaha pariwisata di Pulau Perantara dan Pulau Matahari di Kepulauan Seribu.
Pengusaha yang tercatat dalam daftar 12 pembayar pajak terbesar pada 1994 ini pernah diisukan membuka praktik judi di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu. Pada Mei 2000, dalam suatu acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta, Abdurrahman Wahid—waktu itu menjabat presiden RI—pernah bereaksi: “Tangkap Tomy Winata.” Entah dari mana, Gus Dur—panggilan Abdurrahman Wahid—memperoleh informasi bahwa di gugusan Kepulauan Seribu itu dijadikan arena judi kelas atas. Ia pun memerintahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Letnan Jenderal Rusdihardjo menutup tempat judi di pulau itu.
Tapi, belakangan pihak aparat, bahkan Komisi B (Bidang Pariwisata) DPRD DKI Jakarta yang melakukan inspeksi mendadak ke pulau itu, tidak menemukan bukti sebagaimana yang dituduhkan Gus Dur. Pulau Ayer dikelola Pusat Koperasi TNI Angkatan Laut, bekerjasama dengan PT Global.
Selain namanya sering dikaitkan dengan perjudian, Tomy Winata juga kerap dituding berada di balik sejumlah penyerangan. Terkait Peristiwa 27 Juli 1996, ia dituduh punya andil dalam penyerbuan ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Itu lantaran pada malam sebelumnya, terjadi konsentrasi massa penentang Megawati di seputar Sudirman Central Business District. Tudingan ini dibantah Tomy.
Tomy dituduh berada di balik penyerangan kantor Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) di Jakarta, pertengahan tahun 2002. “Kami baru mendengar tuduhan tersebut dan perlu kami jelaskan bahwa kami tidak tahu sama sekali soal itu,” ujar Tomy kepada Politikindonesia.com.
Lalu, 8 Maret 2002, dua ratusan massa yang mengaku anak buah Tomy menyerang redaksi majalah TEMPO di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Ia mengaku “mengenal” mereka, tapi membantah bahwa pengerahan massa itu ia yang perintahkan. Serangan ini terkait pemberitaan TEMPO tanggal 3 Maret bahwa sang taipan telah mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar, yang terbakar dua minggu sebelumnya, tiga bulan menjelang kebakaran. Meskipun dalam berita sudah termuat bantahan Tomy, Gubernur Sutiyoso dan Direktur Utama Pasar Jaya, konglomerat itu tetap tak terima. Anak buahnya pun berunjuk rasa dan melakukan kekerasan pada tiga wartawan TEMPO, termasuk pemimpin redaksinya.
No comments:
Post a Comment